Selasa, 19 Oktober 2010

Kendang Penca Padepokan Incu Banten

Alhamdulillah pada akhirnya Padepokan Incu Banten mempunyai satu set alat kendang penca, kami haturkan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada kang Reno Yanuar yang sudah membantu menyediakan set alat kendang penca tersebut.
Untuk Hiburan kendang penca anak anak pelajar di Padepokan Incu Banten, bisa menghubungi ke nomor : 087778573882 - Kang'Ajat

KH Tubagus Achmad Chotib (Residen Banten Pertama)

K.H TB Ahmad Chatib
Oleh: Fathul Wahhab

Siapakah KH. TB Ahmad Chatib itu? Banyak orang hampir melupakan namanya. Padahal, jasa-jasanya terhadap kemajuan agama dan bangsa cukup patut kita perhitungkan. Apalagi semangat dan keteladanannya yang harus kita contoh sebagai generasi penerus para alim ulama yang menjadi tiang, benteng serta harapan agama, bangsa dan negara.


Beliau (baca; Ahmad Chatib) yang bernama lengkap KH. TB Ahmad Chatib ibn Wasi' al-Bantani ini dilahirkan di sebuah kampung bernama Gayam, Pandeglang pada hari Ahad tahun 1885 M.

Di tengah-tengah cengkraman kekejaman kolonialisme Belanda, beliau menghabiskan masa kecilnya dengan pendidikan yang tidak mudah, sehingga hal itu membentuk pribadinya menjadi tangguh dan kuat dalam menghadapi deru cobaan kehidupan.

Selama masa hidupnya, beliau sebagai ulama dan pejuang mencurahkan seluruh hidupnya untuk perjuangan agama dan bangsa. Sebagai bukti peranannya dalam perjuangan bangsa, beliau pernah berpartisipasi dalam beberapa jabatan penting negara pada masanya, diantaranya : Residen Banten, Dewan Pertimbangan Agung, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR), bahkan beliau pun pernah menduduki kursi MPRS, BPPK, dan lain-lain. Terlepas dari jabatan-jabatan yang ditampuknya, beliau pun tidak berdiam diri dalam usahanya memajukan agama dan umat, beliau mencetuskan berdirinya Majelis Ulama, Perusahaan Alim Ulama (PAU), serta mendirikan perguruan tinggi seperti Universitas Islam Maulana Yusuf di kota Serang, Banten, yang dikemudian hari berganti nama menjadi IAIN Sunan Gunung Jati.

Dalam usahanya sebagai Pemimpim atau Residen Banten, beliau memulai gerakan pembangunan fisik, sarana dan prasarana bagi keagamaan maupun kenegaraan yang dimulai dan dipusatkan di kota lama Banten, 12 Syawal 1365 H/8 September 1946 M.

Setelah menjalani masa pensiun, beliau sebagai pejuang tidak menghentikan aktifitas serta peranannya dalam pembangunan. Tetapi, beliau lebih banyak mencurahkan perhatiannya dalam memajukan kehidupan umat, seperti: mengurus peninggalan Kesultanan Banten, memelihara anak yatim piatu, mengasuh sebuah pesantren, membangun tempat-tempat ziarah, ibadah, serta tempat menerima tamu atau pelajar yang hendak menimba ilmu di Banten.

Adapun dana/biaya pembangunannya, beliau peroleh dari para donatur atau para dermawan dari seluruh masyarakat Banten, baik berupa moril ataupun materil yang beliau terima dengan penuh semangat dan ikhlas. Mereka berduyun-duyun datang ke Banten untuk menyumbangkan apa saja yang mereka miliki sesuai dengan kemampuan.

Disamping itu, beliau juga mendapatkan dana dari hasil penjualan buku-buku cetak, baik sejarah, ‘aurâd, maupun silsilah, termasuk diantaranya ‘aurâd dan silsilah Thariqat al-Muhtâjîn yang beliau dirikan untuk membentengi keimanan umat dari kerasnya pengaruh globalisasi, yang mana hal ini merupakan warisan terbesar bagi keturunannya yang ingin meneruskan perjuangannya.

Ada kisah menarik menjelang hari-hari kepergiannya. Ketika itu, seminggu sebelum wafat, beliau memiliki firasat tentang akhir dari kehidupan dunianya. Beliau segera mengumpulkan orang-orang terdekat, mulai dari isteri sampai murid-muridnya. Pada saat semua telah berkumpul dihadapannya, ia memerintahkan kepada beberapa orang muridnya untuk menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam prosesi pemakamannya. Disamping itu, ia mulai menyampaikan wasiat-wasiat, serta mengatur pembagian harta warisannya, tak ayal hal ini membuat terperanjat semua orang yang ada dihadapannya.
Mereka bertanya-tanya, “ada apa gerangan?”. Ia pun menjelaskan akan firasat kepergiannya, "Anak-anaku, Mama –begitu biasa mereka memanggilnya- merasa tidak akan lebih dari seminggu lagi masih bersama-sama kalian", ujarnya. Mendengar ucapannya itu, air mata tak terbendung mengaliri pipi mereka.

Satu minggu yang amat berat itu berlalu, terjadilah apa yang telah dibicarakan sebelummnya. Beliau, kembali keharibaan-Nya dengan tenang. Setelah menunaikan segala kewajibannya, ditunaikan hak-haknya, bahkan hak yang seharusnya menjadi tanggungan ahli warisnya.

Gayam, minggu 19 Juni 1966 M, beliau memenuhi panggilan Sang Khalik. Kembali kepada awal dan akhir dari sebuah kehidupan. Meninggalkan mereka dengan duka mendalam tetapi penuh kebanggaan. Semangatnya yang terus mengalir, membuat beliau terasa masih tetap hidup. Yah, hidup di hati setiap keturunannya dan orang-orang yang selalu mengenang akan jasa-jasanya.