Kamis, 09 Juli 2009

Pemerintahan Kesultanan Banten (13)

Sumber : Proses Islamisasi Di Banten
Prof. Dr. Halwany Michrob, M.Sc, dan Drs. Mudjahid Chudari

Pemerintahan Kesultanan Banten

1. Maulana Hasanuddin (1552-1570)
Dalam Babad Banten menceritakan bahwa Sunan Gunung Jati dan putranya, Hasanuddin, datang dari Pakungwati (Cirebon) untuk mengislamkan masyarakat di daerah Banten.
Mula-mula mereka datang di Banten Girang, lalu terus ke selatan, ke Gunung Pulosari, tempat bersemayamnya 800 Ajar yang kemudian semuanya menjadi pengikut Hasanuddin.
Di lereng Gunung Pulosari itu, Sunan Gunung Jati mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan keislaman kepada anaknya.
Hasanuddin berkeliling sambil berdakwah dari satu daerah ke daerah lain. Sesekali bertempat di Gunung Pulosari, Gunung Karang, bahkan sampai ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon.
Dalam menyebarkan agama Islam kepada penduduk pribumi, Hasanuddin menggunakan cara-cara yang dikenal masyarakat setempat, seperti menyabung ayam ataupun mengadu kesaktian. Diceritakan, bahwa cara menyabung ayam di Gunung Lancar yang dihadiri oleh banyak pembesar negeri, dua orang Ponggawa Pajajaran : Mas Jong dan Agus Jo disebut juga Ki Jongjo memeluk agama Islam dan bersedia menjadi pengikut Hasanuddin.

Setelah Banten dikuasai oleh pasukan Demak dan Cirebon pada tahun 1525, atas petunjuk dari Syarif Hidayatullah, pada tanggal 1 Muharram 1526 Masehi. Atau 8 Oktober 1526 Masehi, Pusat Pemerintahan Banten, yang tadinya berada di pedalaman Banten (Banten Girang) di pindahkan ke dekat pelabuhan Banten.
Maka pada tahun 1552 Banten yang tadinya hanya sebuah Kadipaten diubah menjadi sebuah Negara bagian Demak dengan Hasanuddin sebagai Rajanya, dengan gelar Maulana Hasanuddin Panembahan Surosowan.

Maulana Hasanuddin, dalam usahanya membangun dan mengembangkan Kota Banten, lebih menitikberatkan pada pengembangan di sector perdagangan, disamping memperluas daerah pertanian dan perkebunan. Ia berusaha mendorong peningkatan pendapatan rakyatnya dengan melalui pertumbuhan pasar yang sangat cepat. Karena Banten menjadi tempat persinggahan perdagangan rempah-rempah.
Karena banyaknya pedagang muslim yang juga aktif menyebarkan ajaran Islam. Akhirnya Banten pun menjadi pusat penyebaran ajaran Islam untuk Jawa Barat dan sebagian Sumatera.

Banten Melepaskan Diri Dari Kuasa Demak
Kemelut berkepanjangan yang melanda pemerintahan Demak. Dalam waktu yang bersamaan, Banten mengalami kemajuan dalam segala segi. Situasi demikianlah yang mendorong Hasanuddin mengambil keputusan untuk melepaskan Banten dari pengawasan Demak.
Banten menjadi kerajaan yang berdiri sendiri, dengan Maulana Hasanuddin sebagai Raja Pertamanya. Sedang wilayah kekuasaannya pada waktu itu meliputi Banten, jayakarta sampai Kerawang, lampung, Indrapura sampai Solebar.
Tindakan Hasanuddin yang melepaskan diri dari pengawasan Demak ini dianggap sangat penting, karena disamping untuk kemajuan pengembangan daerah Banten, juga, berarti Hasanuddin tidak mau ikut terlibat dalam keributan di pemerintahan Demak, yang masih terhitung famili dekat.
Maka dalam masa pemerintahan Hasanuddin selama 18 tahun (1552-1570), banyak kemajuan yang diperoleh Banten dalam segala bidang kehidupan.

Dalam kehidupan pribadi Maulana Hasanuddin, dari pernikahannya pada tahun 1526 dengan Putri Raja Demak, yang bernama Ratu Ayu Kirana (putra Pangeran Trenggono),
dari pernikahan dengan Ratu Ayu Kirana dikaruniai anak :
Ratu Pembayun,
Pangeran Yusuf,
Pangeran Arya,
Pangeran Sunyararas,
Pangeran pajajaran,
Pangeran Pringgalaya,
Ratu Agung atau ratu Kumadaragi,
Pangeran malona Magrib, dan
Ratu Ayu Arsanengah.

Sedangkan anak dari istri yang lainnya :
Pangeran wahas,
Pangeran Lor,
Ratu Rara,
Ratu Keben,
Ratu Terpenter,
Ratu Wetan dan
Ratu Biru.

Ratu Pembayun kemudian menikah dengan Ratu Bagus Angke putra Ki Mas Wisesa Adimarta yang selanjutnya mereka tinggal di Angke daerah Jayakarta (Djajaningrat, 1983:128)

Maulana Hasanuddin wafat pada tahun 1570 dan dikuburkan di samping Masjid Agung. Setelah meninggalnya Maulana Hasanuddin dikenal dengan sebutan Sedakingkin, kemudian sebagai gantinya dinobatkan Pangeran Yusuf menjadi Raja Banten Ke-2.

2. Maulana Yusuf (1570-1580)
Masa pemerintahan Maulana Hasanuddin, pembangunan Negara lebih dipusatkan pada bidang keamanan kota, perluasan wilayah perdagangan, disamping penyebaran dan pemantapan kepercayaan rakyat kepada ajaran agama Islam.

Sedangkan pada Maulana Yusuf strategi pembangunan lebih dititikberatkan pada pengembangan kota, keamanan wilayah, perdagangan dan pertanian. Tahun 1579, pasukan banten dapat merebut Pakuan, Ibukota Kerajaan pajajaran (Djajaningrat 1983:153). Ponggawa-ponggawa yang ditaklikan lalu di Islamkan dan masing-masing dibiarkan memegang jabatannya semula (Djajaningrat 1983:153)

Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf, perdagangan sudah demikian maju sehingga Banten merupakan tempat penimbunan barang-barang dari segala penjuru dunia yang nantinya disebarkan ke seluruh kerajaan di Nusantara (Sutjipto.1961:13).

Dengan majunya perdagangan maritime di Banten, maka Kota Surosowan, sejak pindahnya kota ini dari Wahanten Girang tanggal 8 Oktober 1526 Masehi dikembangkan menjadi kota pelabuhan terbesar di Jawa (Michrob,dkk,1990)

Babad Banten pupuh XXII menyatakan :
Gawe Kuta Baluwarti Bala Kalawan Kawis.
Artinya :
Membangun kota dan perbentengan dari bata dan karang.

Dari awal Dinasti Maulana Yusuf inilah banten menjadi ramai baik oleh penduduk pribumi maupun pendatang.

Perbaikan Masjid Agung pun dikerjakannya, dan sebagai kelengkapan dibuatlah menara dengan bantuan Cek Ban Cut arsitek muslim asal Mongolia (Ismail,1983).
Disamping mengembangkan pertanian yang sudah ada, untuk memenuhi kebutuhan air bagi sawah-sawah tersebut, dibuatlah terusan-terusan irigasi dan bendungan-bendungan (Djajaningrat,1983:38 dan 59).
Bagi persawahan yang terletak di sekitar kota, dibangun satu danau buatan yang dinamakan Tasikardi . Air dari sungai Cibanten dialirkan melalui terusan khusus ke danau ini.

Dari Permaisuri Ratu Hadijah, Maulana Yusuf mempunyai dua anak yaitu :
Ratu Winaon, dan
Pangeran Muhammad.

Sedangkan dari istri-istri lainnya baginda dikaruniai anak antara lain :
Pangeran upapati,
Pangeran Dikara,
Pangeran Mandalika atau Pangeran Padalina,
Pangeran Aria Ranamanggala,
Pangeran Mandura,
Pangeran Seminingrat,
Pangeran Dikara,
Ratu Demang atau Ratu Demak,
Ratu pacatanda atau ratu Mancatanda,
Ratu rangga,
Ratu manis,
Ratu Wiyos, dan
Ratu balimbing (Djajaningrat,1983:163)

3. Maulana Muhammad Kanjeng Ratu Banten Surosowan (1580-1596)
Maulana Muhammad terkenal sebagai orang yang saleh. Untuk kepentingan penyebaran agaman Islam. Ia banyak mengarang kitab-kitab agama yang kemudian dibagikan kepada yang membutuhkannya. Sultan sangat hormat kepada gurunya yang bernama Kiayi Dukuh yang bergelar Pangeran Kesunyatan di Kampung Kesunyatan (Djajaningrat,1983:39 dan 164).
Peristiwa yang sangat menonjol pada masa Maulana Muhammad adalah peristiwa penyerbuan ke Palembang. Kejadian ini bermula dari hasutan Pangeran Mas yang ingin menjadi Raja di Palembang (Hamka,1972:78-84). Pangeran Mas adalah putra dari Aria Pangiri, putra dari sunan Prawoto atau pangeran Mu’min dari Demak.
Terdorong oleh darah mudanya dan pandainya Pangeran Mas membujuk, sultan pun dapat dipengaruhinya. Saran Mangkubumi dan pembesar-pembesar senior lainnya tidak di indahkannya.
Dengan 200 kapal perang berangkatlah pasukan Banten dipimpin oleh Sultan Muhammad yang didampingi Mangkubumi dan Pangeran Mas. Lampung Seputih dan Semangka diperintahkan untuk mengerahkan tentaranya menyerang dari darat. Maka terjadilah pertempuran hebat di Sungai Musi sampai berhari hari lamanya. Dan akhirnya pasukan Palembang dapat dipukul mundur. Tapi dalam keadaan yang hamper berhasil itu, Sultan yang memimpin pasukan dari kapal Indrajaladri tertembak yang mengakibatkan kematiannya. Penyerangan tidak dilanjutkan, pasukan Banten kembali tanpa hasil (Djajaningrat,1983:41-42 dan Hamka,1982:78-84), terjadi pada tahun 1596 Masehi.
Pangeran Mas tidak berani berlama lama menetap di Banten karena rakyat menganggap dialah penyebab kematian Sultan, sehingga ia pergi kepada Pangeran Ancol di Jayakarta untuk bias menetap disana. Tetapi di Jayakarta pun Pangeran Mas tidak disenangi, akhirnya disuatu malam didapati Pangeran Mas dibunuh oleh anak kandungnya sendiri (Hamka,1982:84).

Maulana Muhammad meninggal dalam usia yang sangat muda kurang lebih 25 tahun dengan meninggalkan seorang anak yang berusia 5 bulan dari permaisuri Ratu Wanagiri, putrid dari Mangkubumi. Anak inilah yang menggantikan pemerintahannya.
Maulana Muhammad setelah meninggalnya diberi gelar Pangeran Seda ing Palembang atau Pangeran Seda ing Rana, dan dikuburkan diserambi Masjid Agung (Djajaningrat,1983:169).

4. Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651)
Setelah Maulana Muhammad meninggal dunia, maka sebagai penggantinya dinobatkan anaknya, Abul Mafakhir yang baru berusia lima bulan. Karena itu, untuk menjalankan roda pemerintahan ditunjuk Mangkubumi Jayanegara sebagai walinya.
Mangkubumi Jayanegara adalah seorang tua yang lemah lembut dan luas pengalamannya dalam hal pemerintahan. Setiap akan mengambil keputusan yang dianggap penting, beliau selalu musyawarah dengan pembesar lainnya terutama dengan seorang wanita tua bijaksana yang ditunjuk sebagai pengasuh Sultan Muda yang bernama Nyai Emban Rangkun (Djajaningrat, 1983:169).

Masa pemerintahan perwalian oleh Mangkubumi Jayanegara sebagai wali Sultan Abul Mafakhir adalah masa yang paling pahit dalam pemerintahan Banten, karena adanya pertentangan diantara beberapa keluarga kerajaan yang saling berbeda kepentingan disamping adanya keinginan dari pihak yang hendak merebut tahta kerajaan karena Sultan masih kecil.
Mangkubumi Jayanegara meninggal pada tahun 1602 yang digantikan oleh adiknya. Tapi tidak lama kemudian, yaitu pada tanggal 17 Nopember 1602 ia dipecat dari jabatannya karena “berkelakuan tidak baik”. Dan karena dikhawatirkan akan menyebabkan perpecahan dan irihati diantara pangeran dan pembesar Negara, maka diputuskan untuk tidak mengangkat Mangkubumi baru, sedangkan perwalian diserahkan pada ibunda Sultan, Nyai Gede Wanagiri (Djajaningrat,1983:170).

Tidak lama kemudian Nyai Gede Wanagiri menikah kembali dengan seorang bangsawan keraton, atas desakannya pula, suaminya itu diangkat sebagai Mangkubumi. Dalam kenyataan sehari-hari, Mangkubumi yang baru ini disamping tidak mempunyai wibawa, juga banyak menerima suap dari pedagang-pedagang asing, hingga banyak peraturan dan perjanjian dagang yang lebih banyak menguntungkan pribadi dibanding untuk kepentingan Negara dan rakyat. Keadaan ini menimbulkan peperangan diantara saudara kerajaan. Perang Saudara ini lebih dikenal dengan istilah Pailir, terjadi sekitar pada tanggal 8 Maret 1608 sampai 26 Maret 1609 (Djajaningrat,1983:43:46 dan 169:179).
Melalui usaha pangeran Jayakarta akhirnya perang saudara ini dapat dihentikan dan perjanjian damai dapat disepakati bersama. Setelah perang saudara usai Banten kembali menjadi aman, kemudian diangkat kembali Mangkubumi Baru Pangeran Ranamanggala juga sebagai wali Sultan Muda.
Pangeran Arya Manggala adalah putra Maulana Yusuf dari istri yang bukan permaisuri. Tindakan pertama yang dilakukan sebagai mangkubumi adalah menertibkan keamanan Negara. Yaitu dengan memberikan hukuman tegas kepada Pangeran atau Ponggawa yang melakukan penyelewengan. Dan mengadakan perjanjian-perjanian dagang.
Kira-kira bulan Januari 1624, Mangkubumi Pangeran Arya Ranamanggala meletakkan jabatannya karena sakit. Diserahkannya segala wewenangnya kepada Sultan Abdul Kadir yang memang sudah dewasa.
Dua tahun kemudian yakni tanggal 13 Mei 1626 Pangeran Arya Ranamanggala meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan diserambi Masjid Agung, kemudian masyarakat menyebutnya Pangeran Gede. (Djajaningrat,1983:191)

Setelah meninggalnya Mangkubumi Arya Ranamanggala, Kesultanan Banten sepenuhnya ditangan Abdul Kadir.
Sultan Abdul Kadir, dari Permaisurinya Putri Pangeran Rangga Singasari mempunyai lima anak :
Pangeran Pekik (bergelar Sultan Ma’ali Ahmad, sepulang dari Mekkah),
Ratu Dewi,
Ratu Mirah,
Ratu Ayu, dan
Pangeran Banten.

Dalam masa pemerintahan Sultan Abdul kadir diutuslah beberapa pembesar istana ke Mekkah pada tahun 1633 atau 1634. Utusan ini dipimpin oleh Labe Panji, Tisnajaya dan Wangsaraja. Dalam rombongan ini ikut pula Pangeran Pekik sebagai wakil ayahnya, sambil menunaikan ibadah haji.
Sekitar tanggal 21 April 1638 rombongan yang diutus ke Mekkah sampai kembali di Banten. Tidak lama setelah kedatangan rombongan dari Mekkah itu, ibunda Sultan yakni Nyai Gede Wanagiri meninggal dunia. Dan atas perintah Sultan, ibundanya dikuburkan di desa Kenari.
Dalam sejarah Sultan Abdul Kadir terkenal sebagai ulama saleh. Salah satu kitab karangannya Insan Kamil.

Sultan Abulma’ali Ahmad mempunyai putra sebagai berikut :
Dari perkawinan dengan Ratu Martakusuma (putrid Pangeran Jayakarta) dikaruniai lima anak :
Ratu Kulon (Ratu Pembayun),
Pangeran Surya,
Pangeran Arya Kulon,
Pangeran Lor, dan
Pangeran Raja. (Tjandrasasmita,1976:8)

Dari perkawinannya dengan Ratu Aminah (Ratu Wetan) mempunyai anak :
Pangeran Wetan,
Pangeran Kidul,
Ratu Inten, dan
Ratu Tinumpuk.

Sedangkan dari istri yang tidak dikenal namanya, berputra :
Ratu Petenggak,
Ratu Tengah,
Ratu Wijil,
Ratu Pusmita,
Pangeran Arya Dipanegara atau Tubagus Abdussalam atau Pangeran Raksanagara,
Pangeran Aryadikusuma atau Tubagus Abdurahman atau Pangeran Singandaru. (Djajaningrat,1983:59).

Putra Mahkota Pangeran Pekik atau Sultan Abulma’ali Ahmad meninggal dunia, setelah menderita sakit yang lama (1650), dimakamkan di pekuburan Kenari, sebagai penggantinya diserahkan kepada anaknya yakni Pangeran Surya dengan gelar Pangeran Adipati Anom (Sultan Banten Ke 5) juga digelari Pangeran Ratu ing Banten sebagai seorang ahli strategi perang.
Tidak lama setelah itu yakni 10 Maret 1651, Sultan Abumafakir Mahmud Abdul Kadir meninggal dunia. Jenazahnya dikuburkan di Kenari, berdekatan dengan makam ibundanya dan putra kesayangannya.

Tidak ada komentar: